Blog & Event

Agentic AI dan Zero Trust: Dua Pilar Baru Pertahanan Privasi Digital

Menuju Paradigma Privasi Baru

Selama ini, kita terbiasa melihat privasi lewat lensa pengaman, pagar, kunci, izin akses, serta kebijakan yang menjelaskan “siapa boleh melihat apa”. Namun kehadiran Agentic AI menggeser paradigma tersebut: privasi bukan sekadar soal kontrol, melainkan soal kepercayaan — terutama ketika kita tidak ikut mengawasi secara langsung.

Agentic AI adalah kecerdasan buatan yang tidak hanya memproses data, tetapi juga mengambil keputusan dan bertindak atas nama manusia. Di era kini, keberadaannya bukan lagi futuristik atau hipotetis, sistem ini mulai menyentuh kehidupan sehari-hari: dari pengelolaan lalu lintas, sistem kesehatan digital, pengelolaan keuangan, hingga identitas digital kita di aplikasi-aplikasi modern.

Apa yang membedakan Agentic AI dari sistem “biasa”? Ia tidak hanya sebagai mesin hitung. Ia memaknai informasi, membuat asumsi berdasarkan data parsial, mengambil tindakan, dan terus berkembang lewat umpan balik. Singkatnya, selain memodelkan dunia luar, AI ini juga memodelkan kita sebagai individu.

Kerapuhan Kepercayaan Ketika AI Menjadi Aktor

Ketika AI mengambil alih peran agen atas nama kita, persoalan privasi menjadi jauh lebih kompleks. Kita tidak lagi membicarakan siapa yang punya akses ke data, melainkan bagaimana data itu diinterpretasikan, bagian mana yang akan dibagikan atau disembunyikan, dan apakah keputusan AI masih selaras dengan nilai serta tujuan kita, terutama jika konteks berubah.

Ambil contoh aplikasi asisten kesehatan berbasis AI. Di permulaan, fungsi utamanya mungkin sekadar mengingatkan agar kita cukup minum atau tidur tepat waktu. Namun seiring waktu, aplikasi itu bisa berkembang: menjadwalkan kunjungan dokter, mendengarkan nada suara untuk mendeteksi stres atau gejala depresi, bahkan memilih menahan notifikasi tertentu agar tidak “mengganggu”.

Di titik ini, interaksi kita dengan AI telah melampaui sekadar alur data, kita mulai “menyerahkan” narasi kehidupan kepada AI. Privacy erosion (pengikisan privasi) bukan disebabkan oleh kebocoran data besar, melainkan pergeseran halus: kekuasaan bertransformasi, tujuan bisa bergeser, dan kendali pengguna semakin kabur.

Mengapa CIA Triad Tidak Lagi Cukup

Sejak lama, keamanan data diukur berdasarkan CIA triad:

  1. Confidentiality (Kerahasiaan)
  2. Integrity (Integritas)
  3. Availability (Ketersediaan)

Tapi Agentic AI menuntut dua aspek tambahan:

  • Autentisitas — apakah AI tersebut benar-benar entitas yang dapat diverifikasi?
  • Verasitas — seberapa andal interpretasi serta representasi yang dibuat AI?

Kedua elemen ini adalah fondasi kepercayaan. Dalam lingkungan di mana AI belajar dan berubah, kepercayaannya bisa rapuh.

Ketika kita berbagi data dengan manusia (misalnya pengacara, dokter, terapis), terdapat garis etis, hukum, dan psikologis yang jelas. Batasnya tegas: apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap informasi kita. Namun dengan AI, batas itu menjadi kabur.

Misalnya:

  • Bolehkah AI dijadikan objek panggilan pengadilan untuk membuka data interaksinya dengan pengguna?
  • Apakah AI bisa diaudit, atau dianalisis ulang agar perilaku atau interpretasinya terbuka?
  • Bagaimana jika pemerintah atau perusahaan menuntut akses ke AI pribadi kita?

Hingga kini, belum ada landasan hukum yang mapan terkait konsep AI-client privilege (hak kerahasiaan interaksi antara pengguna dan AI). Tanpa itu, kepercayaan kita pada AI bisa berubah menjadi penyesalan, terutama jika semua percakapan pribadi kita digunakan sebagai bukti di pengadilan.

Regulator Tertinggal di Belakang

Regulasi privasi seperti GDPR (Eropa) atau CCPA (California) dibangun untuk kerangka sistem yang lebih linier dan transaksional. Sedangkan Agentic AI bekerja berdasarkan konteks, mengingat hal-hal yang kita lupa, menyimpulkan maksud dari kata-kata yang tak diucapkan, serta mengisi celah yang sebenarnya bukan ranahnya.

Parahnya, interpretasi AI ini bisa dibagikan ke pihak lain tanpa sepengetahuan kita, kadang membantu, kadang menyakiti. Karena itu, kita harus bergerak melewati kontrol akses tradisional menuju mekanisme etis. AI perlu dirancang untuk memahami niat kita, bukan sekadar mematuhi aturan mekanis. Ia juga harus bisa menjelaskan tindakan yang diambil (legibility) dan menyesuaikan kendali dengan nilai pengguna, bukan mengikuti instruksi statis.

Risiko “Pengkhianatan” AI dan Masa Depan Hukum

Ancaman terbesar mungkin bukan kejahatan langsung, melainkan “pengkhianatan” AI. Bukan karena niat jahat, tapi karena insentif eksternal yang lebih tinggi, atau regulasi baru yang memaksa AI lebih loyal kepada entitas lain dibandingkan pemiliknya sendiri. Dalam skenario semacam itu muncul pertanyaan: apakah agen AI benar-benar “milik saya”, atau sesungguhnya bukan?

Semua ini menuntun kita ke satu kesimpulan: agensi AI harus diperlakukan sebagai kategori baru dalam ranah moral dan hukum. AI bukan lagi fitur tambahan, ia telah menjadi entitas sosial dan institusional. Privasi bukan semata soal kerahasiaan data, melainkan soal timbal balik, keselarasan nilai, dan tata kelola yang adil.

Jika kita salah bergerak, privasi akan tersisa sebagai formalitas semata, sekadar ceklis tanpa makna. Tapi jika kita membangun dengan benar, AI dapat menjadi mitra yang memperkuat kepercayaan, menghormati hak pribtadi, dan tetap mendorong inovasi teknologi yang bertanggung jawab.

Kesimpulan

Era Agentic AI menuntut kita mendefinisikan ulang privasi dan kepercayaan. Tidak cukup hanya melindungi data; kita juga harus memastikan bagaimana AI menafsirkan, menggunakan, dan membagikan informasi tersebut. Pendekatan Zero Trust menjadi krusial, bukan berarti menolak AI, tetapi membangun sistem yang selalu memverifikasi dan mempertanyakan setiap tindakan algoritma.

Ke depan, keamanan digital akan bergeser dari sekadar teknis menjadi etis. Privasi bukan lagi milik pengguna saja, melainkan hasil kolaborasi antara manusia, teknologi, dan regulasi. Jika keseimbangan ini terjaga, AI dapat menjadi agen kepercayaan, bukan ancaman baru bagi privasi digital kita.

Scroll to Top