Di dunia keamanan siber, kesalahan manusia masih menjadi celah signifikan meskipun organisasi sudah mengadopsi teknologi canggih. Aspek perilaku, pengambilan keputusan, serta budaya perusahaan sama pentingnya dengan perangkat teknis dalam menjaga keamanan. Contohnya, peretasan akun Twitter pada tahun 2020 menunjukkan betapa mudahnya pelaku menyerang melalui manipulasi terhadap karyawan daripada menembus sistem yang kompleks.
Memahami Human Error dalam Keamanan Siber
Human error mencakup segala bentuk kelalaian atau kesalahan, baik disengaja maupun tidak, yang memicu risiko keamanan. Studi Khadka & Ullah (2025) menyebutkan bahwa kesalahan bisa muncul dari pengabaian prosedur, rasa percaya diri berlebihan yang memicu pengambilan risiko, atau kurangnya pelatihan sehingga ancaman sulit dikenali. Kesalahan sehari-hari bisa sesederhana memilih kata sandi yang lemah, mengklik tautan phishing, atau salah mengatur sistem yang sensitif.
Selain itu, laporan-laporan industri sering menunjukkan bahwa sebagian besar insiden keamanan siber disebabkan oleh faktor manusia, terkadang mencapai lebih dari 80 persen. Ini menunjukan bahwa kelemahan terbesar bukanlah di perangkat keras atau lunak, melainkan pada perilaku dan keputusan manusia yang terlibat. Maka dari itu, memperkuat teknologi saja tidak cukup tanpa strategi yang juga mengelola aspek manusia.
Faktor Psikologis Pemicu Kesalahan
Beberapa elemen psikologis bekerja sebagai pemicu human error di keamanan siber:
- Stres & Kelelahan Mental: Tekanan kerja, terutama di unit keamanan seperti Security Operations Center (SOC), dapat menimbulkan kelelahan kognitif. Beban besar membuat fokus menurun dan peluang melewatkan sinyal ancaman menjadi tinggi.
- Kepribadian dan Bias Kognitif: Orang yang terlalu percaya diri mungkin mengabaikan prosedur keamanan, sementara yang terlalu cemas bisa bertindak reaktif dan keliru. Juga, bias seperti kecenderungan mempercayai sumber yang tampak resmi atau akrab sering dimanfaatkan dalam serangan social engineering.
- Manipulasi melalui Social Engineering: Teknik seperti mendesak rasa urgensi, mengandalkan rasa percaya, atau mengaku sebagai otoritas bisa membujuk orang menyerahkan data atau akses penting. Pelatihan simulasi terbukti efektif untuk meningkatkan daya tahan individu terhadap taktik semacam ini.
- Kurangnya Self-Efficacy & Persepsi Risiko yang Keliru: Jika seseorang merasa kurang mampu, dia mungkin enggan mengambil tindakan pencegahan. Kesalahan persepsi dapat berupa meremehkan kemungkinan serangan atau merasa bahwa ancaman tidak relevan bagi dirinya.
Strategi Psikologi untuk Meminimalkan Kesalahan Manusia
Untuk mengurangi human error dalam keamanan siber, beberapa pendekatan psikologi bisa diterapkan:
- Intervensi Psikologis
Latihan kecerdasan emosional agar individu bisa mengelola stres dan reaksi dalam situasi darurat. Pelatihan manajemen stres dan pengurangan beban kognitif juga sangat penting, terutama di lingkungan dengan tekanan tinggi. - Pelatihan dan Edukasi yang Menarik dan Adaptif
Gunakan gamifikasi dan metode pembelajaran adaptif supaya materi tetap relevan dan mudah diserap. Sesuaikan materi dengan latar belakang, budaya, dan generasi agar lebih dipercaya dan dipahami. - Budaya Organisasi & Kepatuhan
Kepemimpinan yang mendukung, transparan, dan inklusif dapat membentuk kultur di mana keamanan dihargai. Kebijakan sebaiknya dibuat sederhana, realistis, dan selaras dengan cara kerja karyawan–agar tidak menjadi beban yang dihindari. - Integrasi Sosio-Teknis
Memadukan teknologi dengan perilaku manusia. Contohnya, sistem decision support yang membantu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, model human reliability untuk memprediksi kesalahan, serta penggunaan AI yang etis dan transparan agar memperkuat keamanan tanpa mengorbankan kepercayaan pengguna.
Kerangka Keamanan Siber Berbasis Manusia
Menurut Khadka & Ullah (2025), kerangka keamanan siber yang efektif berbasis manusia dibangun di atas empat pilar:
- Psikologi: ketahanan mental, pengelolaan stres, dan kesadaran risiko.
- Pelatihan: gamifikasi, pembelajaran adaptif, dan materi yang sesuai budaya dan generasi.
- Budaya Organisasi: kepemimpinan inklusif dan kebijakan yang selaras dengan perilaku karyawan.
- Integrasi Sosio-Teknis: teknologi yang mendukung perilaku manusia, model-model reliabilitas manusia, dan penggunaan AI yang etis.
Rekomendasi Praktis untuk Organisasi
Untuk organisasi, berikut langkah konkret yang bisa dilakukan:
- Audit budaya dan perilaku untuk mengetahui pola yang menyebabkan human error.
- Buat pelatihan adaptif menggunakan gamifikasi dan sumber pembelajaran yang sesuai karakter dan digital literacy karyawan.
- Desain kebijakan keamanan yang berorientasi pengguna, sederhana, jelas, tidak memberatkan.
- Gunakan teknologi yang memudahkan implementasi prosedur aman, seperti autentikasi multifaktor sederhana atau password manager.
- Lakukan evaluasi secara berkala, termasuk studi panjang (longitudinal) untuk melihat perubahan perilaku dan menyesuaikan strategi bila diperlukan.
Kesimpulan
Human error tetap menjadi tantangan terbesar dalam keamanan siber, bahkan ketika teknologi pertahanan semakin canggih. Faktor psikologis seperti stres, bias kognitif, dan manipulasi sosial menjadikan manusia titik lemah yang paling sering dimanfaatkan penyerang. Namun, dengan pendekatan berbasis psikologi, organisasi dapat membangun strategi yang lebih efektif.
Melalui kombinasi intervensi psikologis, pelatihan yang adaptif, budaya organisasi yang mendukung, serta integrasi teknologi yang ramah pengguna, risiko kesalahan dapat ditekan secara signifikan. Keamanan siber yang tangguh bukan hanya soal firewall atau sistem deteksi ancaman, tetapi juga tentang bagaimana manusia sebagai garda terdepan mampu berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan dengan lebih bijak dalam menghadapi ancaman digital.